Seorang ayah tua yang datang dari desa,menempuh jarak jauh pergi menjenguk anaknya yang sedang kuliah di Beijing, tindak tanduknya selama di pesawat telah membuat seorang pramugari yang baik hati menjadi terharu. Pramugari tersebut menuliskan rasa harunya itu ke dalam buku harian dan disebar luaskan di internet, "Buku Harian Sang Pramugari" ini dengan cepat telah membuat puluhan ribu Netter terharu…
Saya adalah seorang pramugari biasa dari Eastern Airlines, kerana masa kerja saya belum lama, jadi belum menjumpai masalah besar yang tidak boleh dilupakan, setiap hari terlewati dengan hal-hal kecil yaitu menuangkan air dan menyediakan teh. Tidak ada kegairahan dalam bekerja, sangatlah hambar. Tapi hari ini, tanggal 7 Jun, saya telah menjumpai suatu kejadian yang merubah pemikiran saya terhadap pekerjaan dan pandangan hidup.
Hari ini kami melakukan penerbangan dari Shanghai ke Beijing, penumpang saat itu sangat banyak, satu unit pesawat terisi penuh. Di antara rombongan orang yang naik pesawat ada seorang pak tua dari desa yang tidak menarik perhatian, dia membawa satu karung guni besar di punggungnya, dengan membawa aroma tanah yang khas dari pedesaan.
Saat itu saya sedang berada di depan pintu pesawat untuk menyambut para tamu, fikiran pertama yang menghampiri saya saat itu adalah masyarakat sekarang ini sudah sangat makmur, bahkan seorang pak tua dari desa pun memiliki wang untuk naik pesawat, sungguh lumayan.
Ketika pesawat sudah mulai terbang , kami mulai menuangkan air, hingga tiba di baris kerusi ke 20-an, terlihat pak tua tersebut, dia duduk dengan sangat hati-hati, tegak tidak bergerak sama sekali, karung guninya juga tidak diletakkan di tempat bagasi bawaan, tingkah si pak tua itu menggendong karung guni besar sekilas seperti rak penyangga bola dunia (globe), tegak seperti patung.
Saat ditanya mahu minum apa, dengan gugup dia menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata tidak mahu. Saat hendak dibantu untuk menyimpan karungnya di tempat bagasi dia juga menolak. Terpaksa kami biarkan dia menggendong karung tersebut. Beberapa saat kemudian tiba waktunya untuk membahagikan makanan, kami mendapatkan bahawa dia masih duduk dengan tegak dan tidak bergerak sama sekali, kelihatannya sangat gelisah, saat diberi nasi, dia tetap saja menggoyangkan tangannya menolak tanda tidak mahu.
Kerananya ketua pramugari datang menghampirinya dengan ramah menanyakan apakah dia sedang sakit. Dengan suara lirih dia berkata ingin ke toilet tapi dia tidak tahu apakah boleh berkeliaran di dalam pesawat, dia takut merosak barang-barang yang ada di dalam pesawat.
Kami memberitahu dia tidak ada masalah dan menyuruh seorang pramugara menghantarkannya ke toilet. Saat menambahkan air untuk kedua kalinya, kami mendapati dirinya sedang mengamati penumpang lain minum air sambil terus menerus menjilat-jilat bibirnya sendiri, kami lantas menuangkan secangkir teh hangat dan kami letakkan di atas mejanya tanpa bertanya kepadanya.
Siapa sangka tindakan kami ini membuat dia sangat ketakutan dan berkali-kali ia mengatakan tidak perlu, kami pun berkata kepadanya minumlah jika sudah haus. Mendengar demikian dia melakukan tindakan yang jauh lebih mengejutkan lagi, buru-buru dia mengambil segenggam wang dari balik bajunya, semuanya berupa wang syiling satu sen, dan diserahkan kepada kami. Kami mengatakan kepadanya bahawa minuman ini percuma dia tidak percaya. Dia sepanjang perjalanan beberapa kali ia masuk ke rumah orang untuk meminta air minum tetapi tidak pernah diberi, bahkan selalu diusir dengan penuh kebencian.
Akhirnya kami baru mengetahui ternyata demi menjimat wang, sepanjang perjalanannya ia seboleh mungkin tidak naik kendaraan dan memaksakan diri berjalan kaki hingga mencapai kota terdekat dengan lapangan terbang, barulah dia naik teksi ke sana, bekal wangnya tidak banyak, maka dia hanya boleh meminta air minum dari depot ke depot sepanjang perjalanan yang dilewatinya. Sayang sekali dia sering sekali diusir pergi, orang-orang menganggapnya pengemis.
Kami menasihatinya selama beberapa waktu lamanya hingga akhirnya dia mahu mempercayai kami, duduk, lalu perlahan-lahan meminum tehnya. Kami menanyakan apakah dia lapar, mahukah memakan nasi, dia masih tetap saja mengatakan tidak mahu. Dia bercerita bahwa ia memiliki 2 orang putra, keduanya boleh diandalkan dan sangat berguna, keduanya diterima di perguruan tinggi, yang bungsu sekarang kuliah di semester 6, sedangkan si sulung telah bekerja.
Kali ini dia ke Beijing menjenguk anak bungsunya yang sedang kuliah. Kerana anak sulung sudah bekerja bermaksud menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal bersamanya di kota, akan tetapi kedua orang tuanya tidak terbiasa, mereka hanya menetap beberapa waktu lamanya lalu kembali lagi ke desa.
Kali ini kerana anak sulungnya tidak ingin sang ayah susah payah naik bas, maka dibelikanlah tiket pesawat khusus bagi ayahnya dan bermaksud menemani ayahnya untuk berangkat bersama dengan pesawat kerana sang ayah tidak pernah menumpang pesawat sebelumnya, ia sangat khuatir ayahnya tidak mengenali jalan. Akan tetapi ayahnya mati-matian tidak mahu naik pesawat kerana beranggapan bahawa hal tersebut adalah suatu pembaziran.
Akhirnya setelah boleh dinasihati sang ayah tetap berkeras untuk berangkat sendirian, tidak mahu anaknya membazirkan wang untuk membeli selembar tiket lagi.
Dia membopong sekarung ketela merah kering yang diberikan pada anak bungsunya. Ketika pemeriksaan sebelum naik ke pesawat, petugas mengatakan bahawa karungnya itu terlalu besar, dan memintanya agar karung itu dimasukkan ke bagasi, namun dia mati-matian menolak, dia bilang takut ketelanya hancur, jika hancur anak bungsunya tidak mahu makan lagi. Kami memberitahu dia bahawa barang bawaannya aman jika disimpan disitu, dia berdiri dengan waspada dalam waktu lama, kemudian baru diletakkannya dengan hati-hati.
Selama dalam perjalanan di pesawat kami sangat rajin menuangkan air minum untuknya, dan dia selalu dengan sopan mengucapkan terima kasih. Tapi dia masih berkeras tidak mahu makan. Walaupun kami tahu perut si pak tua sudah sangat lapar. Sampai menjelang pesawat akan mendarat, dia dengan sangat berhati-hati menanyakan kepada kami apakah kami boleh memberikan sebuah kbeg plastik kepadanya, yang akan digunakan untuk membungkus nasi haknya tersebut untuk dia bawa pergi.
Dia berkata selama ini dia tidak pernah mendapatkan makanan yang begitu enak, dan dia akan bawakan makanan itu untuk diberikan kepada anak bungsunya. Kami semua sangat terkejut. Bagi kami nasi yang kami lihat setiap hari ini, ternyata begitu berharganya bagi seorang pak tua yang datang dari desa ini.
Dia sendiri tak nak untuk makan, dia menahan lapar, demi untuk disisakan bagi anaknya. Oleh kerana itu, seluruh makanan yang sisa yang tidak terbagikan kami bungkus semuanya untuk diberikan kepadanya agar dibawa. Lagi-lagi dia menolak dengan penuh kepanikan, dia berkata dia hanya mahu mengambil haknya saja, dia tidak mahu mengambil keuntungan dari orang lain. Kami kembali dibuat terharu oleh pak tua ini.
Meskipun bukan suatu hal yang besar, akan tetapi bagi saya ini adalah suatu pelajaran yang sangat mendalam.
Tadinya saya berfikir bahawa kejadian ini sudah selesai sampai disini saja, siapa tahu setelah para tamu lainnya sudah turun dari pesawat, tinggallah pak tua itu seorang diri, kami membantunya membawakan karung guninya sampai ke pintu keluar, saat kami akan membantunya menaikkan karung guni tersebut ke punggungnya, mendadak pak tua itu melakukan suatu tindakan yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup: dia berlutut di atas tanah, lalu dengan air mata berlinang dia bersujud kepada kami dan mengatakan, "Kalian semua sungguh adalah orang-orang yang baik, kami orang desa sehari hanya boleh makan nasi satu kali, selama ini kami belum pernah minum air yang begitu manis, tidak pernah melihat nasi yang begitu bagus, hari ini kalian bukan saja tidak membenci dan menjauhi saya, malah dengan ramah melayani saya, sungguh saya tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepada kalian, saya hanya boleh berharap kalian orang-orang yang baik suatu hari nanti akan mendapatkan balasan yang baik".
Sambil tetap berlutut, sambil berkata seperti itu, sambil menangis, kami semua buru-buru memapahnya untuk berdiri, sambil tiada hentinya menasihatinya dan menyerahkannya kepada seorang penjaga yang bertugas untuk membantunya, setelah itu kami baru kembali ke pesawat untuk melanjutkan pekerjaan kami.
Terus terang saja, selama 5 tahun saya bekerja, di dalam pesawat saya telah menemui berbagai macam penumpang, ada yang tidak beradab, ada yang main pukul, juga ada yang berbuat onar tanpa alas an, tapi kami tidak pernah menjumpai orang yang berlutut kepada kami, terus terang kami juga tidak melakukan hal yang khusus kepadanya, hanya menuangkan air agak sering untuk beliau, hal ini telah membuat seseorang yang telah berumur 70 tahun lebih berlutut untuk berterima kasih kepada kami, lagi pula melihat dia memanggul satu karung ketela merah kering, dia sendiri rela tidak makan dan menahan lapar demi membawakan anaknya nasi yang dibahagikan di pesawat, juga tidak mhau menerima nasi hak milik orang lain yang bukan menjadi miliknya, tidak serakah, saya sungguh merasakan penyesalan yang amat mendalam, lain kali saya harus boleh belajar berterima kasih, belajar membalas budi orang lain.
Pak tua ini yang telah mengajarkan kepada saya, bagaimana saya harus hidup dengan penuh kebajikan dan kejujuran. (The Epoch Times)
Sumber : erabaru.net